Contoh kasus : Etika Produksi
Tanah pertanian rusak , apel malang
terancam punah
Contoh kasus ini berkaitan dengan Etika Produksi.
Liputan6.com,
Malang - Sugiman, petani apel di Desa
Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu, Jawa Timur memutuskan mengurangi
penggunaan bahan kimia untuk merawat kebun apel miliknya. Meski belum seratus
persen, tapi pola perawatan pertanian apel dengan pupuk organik mulai
diterapkannya. “Saya ingin buah apel produksi lahan pertanian saya
berkualitas, lebih sehat dan ramah lingkungan,” kata Sugiman, Kamis (12/11/2015).
Ia
memiliki lahan pertanian seluas 2,5 hektare (ha) yang ditanami sekitar 2.000
pohon apel. Sekali panen, 1 ha lahan apel menghasilkan 20 ton apel. Dulu,
menggunakan pupuk kimia dan pestisida adalah satu-satunya cara merawat
pertanian apel miliknya. Namun sejak tahun 2008, Sugiman mulai menerapkan
penggunaan pupuk organik dengan pola secara terputus.
“Pola
penggunaanya putus-putus. Daya tahan tanaman apel belum mampu kalau sepenuhnya
menggunakan organik. Kalau cuaca buruk dan banyak serangan hama, pupuk kimia
dan pestisida baru dipakai,” ujarnya.
Keputusan
menggunakan pupuk organik didasari kerusakan tanah di lahan pertanian apel di
Kota Batu yang sudah semakin parah. Itu disebabkan penggunaan pupuk kimia
secara menerus tanpa diimbangi pupuk organik merusak struktur tanah, menjadi
asam. Pohon apel berusia lebih dari 30 tahun, mudah terserang hama.
Sugiman
membutuhkan 20 ton pupuk organik untuk setiap 1 ha lahan apel miliknya. Jika
menggunakan bahan kimia, ia harus merogoh duit sebesar Rp 10 juta-Rp 30 juta
untuk perawatan tiap 1 ha kebun apel miliknya. Ongkos produksi pertanian
organik sebenarnya jauh lebih murah. Sebab, dosis dosis pupuk kimia terus
bertambah jika pemakaian pupuk kimia sudah berlebihan.
“Kalau pakai pestisida, gradenya terus
dinaikkan. Karena hama semakin kebal, tak bisa kalau menggunakan obat yang sama
tiap ganti musim,” ungkap Sugiman. Penggunaan pupuk kimia secara terus
menerus ini juga menimbulkan kekawatiran bagi kesehatan Sugiman sendiri.
“Setiap hari selalu berhubungan dengan pupuk kimia dan pestisida yang
berbahaya. Lama-lama kawatir juga dengan kesehatan saya sendiri,” katanya. Lahan
pertanian apel di Kota Batu dari tahun ke tahun memang menyusut drastis. Selain
faktor alam yaitu suhu udara yang semakin panas, penggunaan bahan kimia
berlebih juga menjadi salah satu penyebab.
Pada
masa lalu ketika apel Batu mencapai masa kejayaan, apel masih bisa ditanam di
wilayah rendah dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Saat
ini, keberadaan pohon apel di Kota Batu terus naik ke wilayah yang lebih
tinggi, di atas 1.200 mdpl.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kota Batu, lahan pertanian apel memang terus menyusut. Semula luas lahan apel lebih dari 2.400 ha, kini tinggal 1.700 ha. Pada tahun 2004 silam terdapat 2,6 juta pohon apel yang seluruhnya produktif. Pohon itu mampu menghasilkan 919 ribu kuintal apel atau setiap pohon menghasilkan 18 kilogram (kg) apel. Di tahun 2014 lalu, jumlah pohon apel tinggal 2,1 juta pohon dan yang produktif hanya 1,2 juta pohon. Produktivitasnya pun menjadi 708 ribu kuintal atau per pohon hanya menghasilkan 14 kg apel.
“Struktur tanah pertanial apel sudah rusak parah karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Jadi residunya sudah terlalu banyak,” kata Lendi Agus S, Kepala Seksi Holtikultura Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu. Pemerintah Kota Batu terlambat menyadari kerusakan tanah pertanian di wilayahnya. Program Go Organic baru dikumandangkan tahun 2013. Alokasi anggaran untuk membantu petani apel pun belum maksimal. Pada tahun ini, hanya ada anggaran sebesar Rp 2,5 miliar untuk revitalisasi lahan. Hanya mencukupi 100 ha lahan apel saja. Bantuan berupa pupuk organik, memperkaya mikro organisme tanah itu dengan agensi hayati dan mengendalikan hama dengan pakai pestisida nabati. “Tapi anggaran terbatas, mungkin butuh waktu sepuluh tahun memperbaiki kualitas tanah pertanian apel di kota ini,” ujar Lendi. Tapi setidaknya Pemkot Batu telah mulai berbenah, memperbaiki diri menjaga buah yang menjadi maskot daerahnya tetap ada. Musuh buah produk pertanian local ini bukan produk impor. Melainkan pola tanam pertanian itu sendiri. Butuh waktu panjang untuk mengubah perilaku petani.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kota Batu, lahan pertanian apel memang terus menyusut. Semula luas lahan apel lebih dari 2.400 ha, kini tinggal 1.700 ha. Pada tahun 2004 silam terdapat 2,6 juta pohon apel yang seluruhnya produktif. Pohon itu mampu menghasilkan 919 ribu kuintal apel atau setiap pohon menghasilkan 18 kilogram (kg) apel. Di tahun 2014 lalu, jumlah pohon apel tinggal 2,1 juta pohon dan yang produktif hanya 1,2 juta pohon. Produktivitasnya pun menjadi 708 ribu kuintal atau per pohon hanya menghasilkan 14 kg apel.
“Struktur tanah pertanial apel sudah rusak parah karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Jadi residunya sudah terlalu banyak,” kata Lendi Agus S, Kepala Seksi Holtikultura Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu. Pemerintah Kota Batu terlambat menyadari kerusakan tanah pertanian di wilayahnya. Program Go Organic baru dikumandangkan tahun 2013. Alokasi anggaran untuk membantu petani apel pun belum maksimal. Pada tahun ini, hanya ada anggaran sebesar Rp 2,5 miliar untuk revitalisasi lahan. Hanya mencukupi 100 ha lahan apel saja. Bantuan berupa pupuk organik, memperkaya mikro organisme tanah itu dengan agensi hayati dan mengendalikan hama dengan pakai pestisida nabati. “Tapi anggaran terbatas, mungkin butuh waktu sepuluh tahun memperbaiki kualitas tanah pertanian apel di kota ini,” ujar Lendi. Tapi setidaknya Pemkot Batu telah mulai berbenah, memperbaiki diri menjaga buah yang menjadi maskot daerahnya tetap ada. Musuh buah produk pertanian local ini bukan produk impor. Melainkan pola tanam pertanian itu sendiri. Butuh waktu panjang untuk mengubah perilaku petani.
“Apel kita punya pasar sendiri, tak perlu
kawatir dengan buah impor. Yang harus diubah mulai sekarang adalah pola tanam
agar apel kita lebih berkualitas dan sehat,” tandas Lendi.(Zainul Arifin/Ndw)
Sumber :
Komentar :
Kesalahan yang di
lakukan oleh petani adalah menggunakan pupuk kimia untuk merawat tanaman
apelnya yang mengakibatkan lahan tersebut menjadi rusak ,lalu petani tersebut
baru menyadari apa yang ia lakukan itu adalah tindakan yang salah dan merugikan
semua pihak , baik di pihak petani tersebut karena lahanya menjadi rusak , dan
semakin sering di konsumsi juga tidak
bagus untuk kesehatan para konsumen apel tersebut karena efek dari penggunaan bahan kimia .
namun, karenan kasus ini sudah terlanjur terjadi dan petani mengaku bahwa ia
melakukan kesalahan dan ingin memperbaikinya dengan cara menggunakan pupuk organic
, meski belum seratus persen penggunaan pupuk organic , tapi pola perawatan
pertanian apel dengan pupuk organic mulai di terapkan , karena daya tahan
tanaman apel belum mampu kalau sepenuhnya menggunakan organic , akan tetapi
sebaiknya tetap berusaha di perbaiki demi kebaikan dan kesehatan bersama antara petani dan
konsumen apel itu sendiri . mengingat pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya sebaiknya penggunaan pupuk kimia tidak di
gunakan lagi kalau bisa sedikit demi sedikit bahan pupuk kimia di kurangi atau
tidak di gunakan lagi untuk penggunan tanaman .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar